RenunganPagi: Sambutlah tanganku ini, dan mari kita pergi bersama-sama naik ke "Gunung Tabor" untuk menyaksikan Kisah Kemuliaan Tuhan di atas gunung itu. Saya dan kamu, para sahabatku akanPertobatan Seorang Anak 14 Tahun Kisah Justin Motes Justin Motes Halo nama saya Justin, saya berasal dari negara bagian Georgia Amerika Serikat dan saya berumur 14 tahun. Saya menuliskan kisah ini untuk berbagi cerita tentang pertobatan saya ke Gereja Katolik, yang terjadi pada usia muda saya. Pertobatan saya merupakan pengalaman yang sungguh hebat untuk diriku sendiri, begitu juga untuk keluargaku. Kedua orang tua saya tidak pernah mengira bahwa seorangpun dari anggota keluargaku akan menjadi seorang Katolik. Saya mengadiri kebaktian pertama saya ketika berumur enam tahun di gereja Baptis setempat. Nenek saya yang akan membawa saya ke kebaktian dan saya selalu duduk bersamanya. Saya mencintai sekolah Minggu dan menikmati khotbahnya. Hal yang menakjubkan untuk seorang anak berumur enam tahun untuk memperhatikan dan mengambil pelajaran dari khotbah yang “kuno dan membosankan” seperti anak-anak lain dan para remaja katakan. Apakah saya berpikir ini adalah batu loncatan kepada pertobatan saya? Tidak. Saat saya melanjutkan kehidupan menggereja saya, saya semakin jarang mengikutinya dan semakin jarang lagi. Ketika usia saya bertambah, saya mengesampingkan Tuhan, akan tetapi saya selalu teringat pelajaran sekolah Minggu dan khotbah-khotbahnya. Saya masih mengingat dengan jelas ketika saya bermain sebuah permainan dengan sepupu-sepupu saya dan mereka akan mengatakan suatu kebohongan. Saya akan berkata, “Tuhan tidak menyukai kebohongan.” Apakah saya menggunakannya sebagai sebuah cara untuk membuat mereka memberitahukan yang sebenarnya? Ya. Apakah saya tahu bahwa hal itu memiliki arti teologis yang mendalam dari pemikiran saya? Tidak, tidak sama sekali. Sekitar ulang tahun saya yang ke-11, saya merasa sedikit bersalah karena tidak pergi ke gereja. Sehingga, saya mulai ke gereja sebulan sekali, kadang-kadang dua kali. Walaupun saya seringkali mengenyahkan perasaan itu daripada tidak sama sekali, namun saya tetap merasa sangat bersalah. Dari perasaan ingin dibanggakan yang terdalam, saya mulai pergi ke gereja setiap Minggu dan memamerkannya di sekolah, seolah-olah saya ini lebih baik daripada orang lain. Walaupun demikian, Kristus mulai semakin membentuk jiwaku, meskipun penampilan luar saya yang berupa rasa pamer. Sekarang inilah bagian yang menarik pada usia saya yang ke-12, waktu itu saya di sekolah menengah, entah bagaimana saya terlibat dalam Yudaisme agama Yahudi. Mungkin karena saat itu saya berminat mempelajari agama lain atau karena kebutuhan untuk memuaskan dahaga saya akan pengetahuan, atau mungkin saja merupakan langkah pertama dari pertobatan saya. Yudaisme benar-benar membuat saya terjebak. Saya merasakan adanya kaitan satu sama lain antara tradisi dan iman, tetapi ada sesuatu yang hilang, dan saya tahu persis apa itu Yesus. Melalui pencarian dan doa, saya menemukan satu iman, yang memenuhi kebutuhan pribadi saya yaitu Gereja Katolik. Mungkin ini adalah jalan Tuhan yang mengarahkan saya kepada Iman? Iman Katolik beresonansi membentuk suatu keharmonisan dengan saya, ternyata semua ada di situ Tradisi, Iman, Yesus dan yang penting Kebenaran itu sendiri. Eklesiologi ilmu tentang Gereja dan penjelasan doktrin Katolik oleh para apologis Katolik benar-benar mengarahkanku pada Iman. Saya terpikat. Walaupun demikian pertobatan saya tidak semudah itu, khususnya sejak saya belajar untuk studi saya di sekolah, menjalin kehidupan sosial, dan mempelajari ajaran Katolik, beberapa hal yang mudah seperti doktrin api penyucian. Nenek dan ibu saya yang menganut ajaran gereja Baptist, keduanya pecaya bahwa setelah kematian terdapat penderitaan penyucian, dan mereka mengajarkan hal itu kepada saya, sehingga saya sudah mempercayainya sebelum saya mengikuti kelas untuk menjadi Katolik. Sedangkan, hal lain berdatangan sedikit lebih sulit untuk dipercaya dibandingkan hal yang lainnya. Saya yakin hal yang paling sulit saya terima yaitu penghormatan kepada Maria dan memohon perantaraannya. Sebagai seorang Baptis, saya diajarkan dengan sangat tegas bahwa tak satupun kecuali Tuhan yang dapat mendengarkan doa-doa anda dan hanya ada satu Perantara antara Tuhan dan manusia, yaitu Yesus. Hal yang mengejutkan saya, bahwa hal itu tidak jauh berbeda dengan apa yang orang Katolik percayai. Setelah saya mendengarkan beberapa kaset oleh apologis Katolik seperti Scott Hahn, saya mengerti doktrin tersebut, dimana saya dapat menerima doktin tersebut dengan lebih murah hati. Dengan ijin dari ibu saya, saya menghadiri Misa pertama saya pada hari Selasa sebelum Minggu Palma dan menjadi kejutan besar untuk saya! Pikiran yang terlintas di benak saya adalah, siapa wanita bersama malaikat dan sesuatu seperti “kaktus” disekelilingnya Maria? Kotak apa disana Tabernakel? Mengapa ada podium di sebelah samping? Mengapa orang-orang menandai diri mereka sendiri dengan air dan berlutut ketika memasuki bangku? Ada banyak pertanyaan yang dapat saya tuliskan, tapi ini hanya beberapa saja. Ketika saya memperkenalkan diri, Imam sangat baik kepada saya sebagai pendatang baru. Untuk 12 bulan selanjutnya, saya terlibat pencarian yang terus menerus, devosi, dan kadang-kadang beberapa perdebatan-perdebatan sengit. Pada 7 April 2012, saya diterima di Gereja Katolik dan menerima Ekaristi Kudus untuk pertama kalinya. Saat itu menjadi saat terpenting dalam hidup saya setelah sekian lama. Melalui seluruh perjalanan ini, ibu dan ayah saya mendukung saya, dan saya tahu bahwa Yesus ada di sebelah saya, memimpin saya melalui kesulitan dan masalah. Terima kasih Yesus. Nama saya Justin Motes, saya tinggal di Georgia, Amerika Serikat. Saya berumur 14 tahun. Saya menyukai mempelajari agama, bermain piano, dan bergaul dengan teman-teman saya. Saya ingat untuk memilki waktu untuk berdoa dan berdevosi setiap hari, dan yang lebih penting, saya seorang Katolik oleh karena kasih karunia Tuhan. Catatan tambahan dari penerjemah Syukur kepada Allah atas kesaksian dari saudara kita, Justin Motes. Semoga kesaksian ke pangkuan Gereja Katolik ini semakin menguatkan iman kita semua, baik yang muda maupun yang sudah tua. Sehingga tidak ada kata terlambat untuk pulang. Semoga saudara kita ini senantiasa dibimbing oleh Allah Tritunggal Mahakudus dalam perjalanan hidupnya yang masih panjang. Semoga imannya bertambah kuat dan berbuah dalam karya nyata. Judul Asli My Conversion to the Catholic Church – Justin Motes diakses tanggal 5 Februari 2013, diterjemahkan oleh Arief Prilyandi. Pax et Bonum follow Indonesian Papist's Twitter MenurutKonsili Vatikan II dalam buku Iman Katolik (KWI Penerbit Kanisius dan Penerbit Obor, 1996), ada ditulis pengalaman religius pada hakekatnya berarti bahwa manusia mengakui hidupnya sendiri sebagai pemberian dari Allah. Dengan mengakui hidup sebagai pemberian, ia mengakui Allah sebagai "pemberi hidup". Pegalaman ini B. A. Lewis Sumber Ketika orang-orang bertanya kepada saya mengenai keputusan saya bergabung dengan Gereja Katolik, saya suka membagi pertanyaan itu menjadi dua bagian. Pertanyaan, “Kenapa Anda jadi Katolik? Dan pertanyaan lainnya, “Bagaimana Anda jadi Katolik?” Pertanyaan pertama bisa dijawab dengan satu kalimat saja Saya masuk Gereja Katolik karena saya yakin baik dalam pikiran dan hati saya bahwa Gereja Katolik itu seperti yang dinyatakan olehnya satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Tuhan kita Yesus Kristus untuk melakukan misi-Nya di dunia ini dan juga yang dibimbing oleh Roh Kudus untuk mewartakan dan mengajar kepenuhan Injil. Jawaban tentang pertanyaan “bagaimana” adalah sebuah cerita, dan hampir persis dengan tiga tahapan perubahan keyakinan yang ditulis oleh G. K. Chesterton “Pengalaman saya bahwa orang yang berpindah keyakinan biasanya melewati tiga tahapan atau keadaan pikiran. … Fase pertama adalah fase dari filsuf muda yang merasa bahwa seseorang harus berlaku adil terhadap Gereja Roma. Ia hendak melakukannya dengan adil, tapi karena melihat bahwa dia [Gereja Roma] menderita ketidakadilan. … Tahap kedua adalah di mana seseorang yang akan berpindah keyakinan mulai menyadari bukan hanya ada kepalsuan tapi juga ada kebenaran, dan ia sangat bersemangat untuk menemukan bahwa ada jauh lebih banyak yang bisa ia peroleh daripada yang ia perkirakan. … Dan tahap ketiga mungkin yang paling benar sekaligus paling mengerikan. Yaitu di mana seseorang berusaha tidak mau berubah keyakinan” The Catholic Church and Conversion, Ignatius Press, 2006, hlm. 72-77. Jika saya diperkenankan untuk meringkas masing-masing tahap itu dalam satu kata keadilan, penemuan, dan pelarian. Mulai Berlaku Adil terhadap Gereja Katolik Saya ingin mengatakan bahwa tahap pertama dimulai ketika saya membaca buku C. S. Lewis di kelas 9. Tapi sebenarnya jauh sebelum itu. Saya dibesarkan di denominasi United Methodist di Georgia, putra dari dua bersaudara “anak-anak pendeta” United Methodist. Kenyataannya, tiga dari empat kakek nenek saya adalah pelayan yang ditahbiskan di Gereja United Methodist. Jadi saya sudah dibaptis sewaktu kecil dan aktif di sekolah Minggu, menjadi anggota koor anak-anak, dan akhirnya ikut kelompok orang muda gereja. Di musim panas sebelum saya mulai masuk di sekolah menengah, saya mengikuti acara “Chrysalis Flight,” suatu acara retret pemuridan intensif selama tiga hari untuk remaja. Setelah retret itu saya berkeinginan untuk bertumbuh dalam iman, dan mengambil buku C. S. Lewis yang berjudul Mere Christianity Kekristenan Asali. Dengan membaca buku itu, hidup saya berubah. Rasanya seperti membuka pintu ke dunia yang sama sekali baru. Itulah buku pertama yang saya baca yang membuat saya berpikir serius tentang iman Kristen, yang membuat saya berpikir bukan hanya sesuatu yang baik dan benar, melainkan sebagai satu-satunya penjelasan di antara semua filsafat dan agama di dunia yang benar-benar bisa menjelaskan segala sesuatu. Buku itu pula yang mengantarkan saya ke apologetika, filsafat, dan argument rasional. Saya terpikat. Saya menyukai kedalaman sederhana dalam gaya pembawaan Lewis, kemampuannya untuk mengambil pemikiran yang kompleks dan menjelaskannya dalam bahasa sehari-hari. Saya mulai membaca setiap buku C. S. Lewis yang saya peroleh The Screwtape Letters, The Problem of Pain, kumpulan esai dan khotbahnya. Tidak diragukan lagi Lewis menjadi penulis favorit saya. Melalui tulisan Lewis, untuk pertama kali saya menemukan doktrin api penyucian. Seperti yang ditulis Lewis dalam Letters to Malcolm Jiwa kita memohonkan Api Penyucian, kan? Apakah kita tidak patah hati jika Allah berkata kepada kita, “Memang benar, anakku, bahwa bau napas dan pakaianmu meneteskan lumpur dan lender, tapi kami di sini berbelas kasih dan tidak ada orang yang akan mencelamu dengan semua hal ini. Mau masuk ke dalam sukacita?” Seharusnya kita tidak pantas menjawab, “Dengan rendah hati, tuan, dan jika tidak keberatan, perkenankan saya membersihkan diri terlebih dahulu.” “Engkau tahu, mungkin itu menyakitkan” – “Meskipun begitu, tuan.” Lewis, Letters to Malcolm, Harcourt Brace Jovanovich, 1964, hlm. 108f. Sebagai seorang Methodist, saya mempertimbangkan gagasan pembersihan sesudah kematian sebagai kesimpulan logis dari John Wesley tentang kesempurnaan Kristen. Jika Allah hendak menguduskan saya dengan kasih karunia-Nya, jika Ia akan bekerja dalam diri saya untuk membuat saya sempurna seperti Ia yang sempurna adanya, lalu apa yang terjadi jika saya mati sebelum proses itu selesai? Akankah Allah meninggalkan pekerjaan baik yang Ia mulai itu tidak selesai? Ataukah Ia hendak “menyelesaikannya” Filipi 16? Setahun setelah saya mulai membaca buku Lewis, suatu hari ayah saya datang ke kamar saya dan berkata, “Kamu tahu, Benjamin, kalau kamu sangat suka C. S. Lewis, ada penulis lain yang menurutku harus kamu baca.” Lalu ia bercerita tentang G. K. Chesterton. “Ada buku yang mirip dengan Mere Christianity, dan saya kira kita punya bukunya di lantai bawah. Saya akan carikan buat kamu.” Beberapa saat kemudian, ia kembali dan membawa buku berjudul Orthodoxy. Saya mulai membacanya dan hampir langsung menemukan pertentangan. Saya adalah penggemar setia Lewis. Ia bukan hanya penulis favorit saya, ia juga adalah cinta pertama saya dalam kesusastraan. Tapi Chesterton kelihatan sama pintar dan berwawasan luas seperti Lewis. Saya tidak suka mengakuinya, tapi mungkin saya lebih menyukai Chesterton daripada Lewis. Ketika saya selesai membaca Orthodoxy, saya sudah menyelesaikan pertentangan itu meskipun saya tetap menghargai C. S. Lewis, tapi saya punya penulis favorit baru. Kemudian saya mulai membaca setiap buku Chesterton yang bisa saya dapatkan. Semakin banyak saya membacanya, saya semakin menentang fakta bahwa Chesterton bergabung dengan Gereja Katolik sebagai orang dewasa. Dalam banyak buku sesudah perubahan keyakinannya, ia menulis banyak hal untuk membela Katolikisme yang tampaknya masuk akal bagi saya, tapi saya belum tahu banyak tentang Gereja Katolik untuk mengetahui apa yang saya pikirkan tentang semua itu. Semakin saya banyak membaca, semakin saya akui kalau saya tidak tahu banyak tentang Gereja Katolik, tapi saya ingin mempelajarinya. Di SMA, saya juga mulai membaca beberapa tulisan para Bapa Gereja dan teolog abad pertengahan. Kepala orang muda di gereja Methodist saya memulai kelompok membaca teologi bagi anak-anak SMP dan SMA. Ia menyebutnya “Dead Theologians Society Kelompok Para Teolog yang Sudah Mati.” Kita bertemu seminggu sekali untuk membaca dan mendiskusikan tulisan-tulisan seperti Pengakuan-pengakuan karya St. Agustinus, Tentang Inkarnasi karya St. Athanasius, dan beberapa bagian tulisan St. Thomas Aquinas. Kelompok itu seharusnya melanjutkan bacaannya dengan tulisan Matrin Luther, John Calvin, John Wesley, dan para teolog yang lebih baru, tapi kami tidak pernah sejauh itu karena tingkat kehadiran kelompok itu berkurang dan proyek itu ditinggalkan. Sendirian, saya membaca karya St. Anselmus. Akibatnya, karena sebagian besar awal mula bacaan teologis sudah jelas Katolik. Tidak ada yang menyuruh saya untuk berhati-hati dengan apa yang ditulis para penulis ini. Tidak ada yang memperingatkan saya kalau umat Methodist itu tidak percaya dengan apa yang dipercaya oleh Agustinus dan Aquinas. Saya hanya membaca para pemikir hebat ini, dan menemukan bahwa apa yang mereka katakan itu sangat masuk akal. Jadi, sewaktu membaca Chesterton, saya juga memperoleh pengenalan teologi Katolik yang kuat. Di SMA, pertama kali saya bertemu dengan ajaran Katolik yang disalahartikan. Saya akan memberikan dua contoh. Yang pertama terjadi waktu Sekolah Minggu, saya ikut dalam “Belajar Alkitab Pemuridan” yang mencakup sebagian besar Perjanjian Lama dan Baru dalam 34 pekan bacaan harian yang punya pertemuan mingguan untuk membahasnya. Ketika kami membaca Matius 1613-20, perikop terkenal “engkau adalah Petrus,” saya cukup tahu tentang Katolikisme yang mengacu bahwa inilah dasar dari pemikiran otoritas kepausan. Jadi saya bertanya kepada pimpinan yang sedang mengajar di kelas itu, “Mengapa kita bukan Katolik?” Kelihatan ia sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ada seorang siswa yang membuat komentar sinis tentang perilaku mengerikan para paus di zaman Renaisans. Waktu itu saya belum cukup mengerti untuk menjelaskan posisi Katolik,tapi secara naluriah saya tahu keberdosaan beberapa paus dalam sejarah itu tidak relevan dengan pertanyaan mengenai otoritas pengajaran. Infalabilitas [tidak dapat salah dalam menentukan ajaran iman dan moral] tidak sama dengan impeccabilitas [tidak bisa berdosa sama sekali.] Salah satu contoh lain mengenai penilaian yang tidak adil terhadap Katolikisme yaitu waktu saya datang ke acara festival musik Kristen dengan kelompok orang muda. Ada seorang pembicara di festival musik itu berpendapat bahwa umat Katolik bukan orang Kristen sejati, kemudian ia mengutip banyak hal, salah satunya adalah kepercayaan “takhayul” tentang komuni. Saya ingat betapa terkejutnya saya dengan ucapannya, dan saya merasa terdorong untuk membaca salah satu bukunya yang ada di tempat merchandise setelah ia selesai berbicara. Saya menemukan bahwa dalam bukunya itu banyak argument-argumen yang menentang Katolik, seperti ceramahnya itu, yang semuanya itu kelihatannya salah mengartikan posisi Katolik. Sekali lagi, waktu itu saya tidak cukup tahu menjelaskan bantahan Katolik tentang yang dikatakannya itu, tapi saya tahu kalau pendapatnya itu didasarkan pada pemahaman keliru tentang ajaran Katolik. Pengalaman-pengalaman ini, dan pengalaman lainnya memberi saya suatu perasaan yang tumbuh bahwa Gereja Katolik sering disalahpahami oleh para penentangnya. Saya belum siap menerima pernyataan Gereja Katolik, tapi saya mulai memiliki keraguan yang serius mengenai argument yang menentang pernyataan tersebut. Menemukan Gereja Katolik Waktu saya menjadi mahasiswa baru di Asbury College, sebuah perguruan tinggi seni liberal Kristen non-denominasi di Kentucky, pertanyaan di benak saya, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Pertanyaan ini belum begitu mendesak, tapi memberikan banyak pikiran, doa, dan pembelajaran. Ada tiga hal yang secara khusus membantu saya dalam menjawab pertanyaan itu di perguruan tinggi. Pertolongan besar pertama datang dalam bentuk buku. Saya sudah membaca Alkitab, Agustinus, Anselmus, C. S. Lewis, G. K. Chesterton. Tapi sekarang, berada di perguruan tinggi saya punya akses untuk membaca lebih banyak buku lagi. Selain buku pelajaran dan sumber bacaan di perpustakaan kampus, saya diberkati dengan menemukan beberapa karya apologetika Katolik di toko buku bekas di daerah itu. Tapi satu-satunya sumber cetak terhebat saya peroleh dari obral buku perpustakaan kampus waktu semester pertama. Waktu itu tahun 2003, kampus memesan New Catholic Encyclopedia edisi kedua untuk buku referensi kampus. Ini artinya mareka akan menjual New Catholic Encyclopedia edisi pertama terbitan tahun 1967, semuanya ada sembilan belas jilid dengan harga $50. Sebagai seorang mahasiswa baru, saya tidak punya uang yang cukup untuk membelinya, tapi saya tahu kalau ini penawaran yang bagus. Jadi setelah memikirkannya, saya memberanikan diri untuk membeli buku itu. Empat tahun berikutnya, buku-buku itu berada di belakang meja di kamar asrama kampus saya. Setiap kali saya punya pertanyaan tentang ajaran-ajaran maupun tata cara Katolik, saya akan membuka salah satu buku dari rak itu dan mulai membacanya. Perbincangan dengan teman-teman kuliah saya menjadi bantuan besar yang kedua yang saya terima dalam bentuk menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Salah satu keuntungan belajar di perguruan tinggi Kristen non-denominasi adalah hampir semua orang menganggap iman Kristen sebagai sesuatu yang serius, tapi tidak semua orang sepakat dalam pertanyaan-pertanyaan teologi. Banyak teman-teman saya beberapa versi aliran Methodist United Methodist, Methodist Bebas, atau Methodist Evangelikal/Injili, tapi seorang teman paling dekat saya adalah seorang Presbiterian Evangelis/Injili, yang dibesarkan dalam tradisi Reformed atau John Calvin. Jadi kami sering mendiskusikan dan memperdebatkan perbedaan teologis Wesley dan Calvin. Satu perbincangan di kafetaria sudah cukup sebagai contoh umum. Seseorang yang bertanya tentang sifat-sifat Allah yang mana yang paling penting. Orang-orang aliran Wesley beralasan kalau kekudusan sebagai atribut ilahi yang mendasar, seorang teman Calvinis yang jelas-jelas kalah jumlah mempunyai alasan kuat bahwa kedaulatan sebagai sifat yang lebih mendasar daripada kekudusan. Saya masih ingat dengan peristiwa itu, saya berpikir bahwa perdebatan itu cukup seimbang, dan mungkin ada sesuatu yang lebih mendasar daripada kekudusan atau kedaulatan. Maka saya mencari “atribut ilahi” dalam New Catholic Encyclopedia, dan menemukan sesuatu yang lebih mendasar aseitas “dari diri-Nya sendiri”. Seperti yang dikatakan dalam Katekismus “Allah adalah kepenuhan keberadaan dan kesempurnaan, tanpa awal dan akhir. Sementara segala makhluk ciptaan menerima segala-galanya, keberadaan dan milik mereka dari Dia, hanya Ia sendiri merupakan Keberadaan-Nya dan memilikinya dari diri-Nya sendiri” Katekismus Gereja Katolik, 213. Jadi inilah yang membedakan Allah dari makhluk ciptaan-Nya, bukanlah kekudusan atau kedaulatan-Nya itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa kekudusan dan kedaulatan Allah dan semua atribut-Nya yang lain berasal dari diri-Nya sendiri, sedangkan kekudusan atau kedaulatan apa pun yang mungkin diperoleh manusia bukan berasal dari diri kita sendiri melainkan dari Allah. Perbedaan ini bukan hanya membantu saya melihat jawaban Katolik yang lebih dalam terhadap perdebatan Protestan mengenai sifat ilahi, tapi juga membantu saya untuk menyembah Allah dan menghormati orang-orang kudus. Allah sanggup membuat seseorang menjadi kudus dengan sempurna, dan orang itu tetap bukan Allah, karena perbedaan antara Allah dan makhluk ciptaan-Nya yang bukan satu derajat melainkan jenisnya kekudusan Allah dalah milik-Nya, dari diri-Nya sendiri; kekudusan yang kita peroleh adalah murni karena anugerah, karunia yang dianugerahkan dengan cuma-cuma dari Allah. Ketika kita menyembah Allah, kita menyembah-Nya karena siapa Ia yang ada dalam diri-Nya sendiri. Ketika kita menghormati orang-orang kudus, kita memuji atas apa yang Allah lakukan di dalam dan melalui mereka. Selama perbedaan itu dipertahankan, semakin kita memuji orang-orang kudus, maka kita semakin memuliakan Allah. Argumen mengenai atribut ini adalah salah satu dari banyak obrolan. Dari api penyucian hingga orang-orang kudus hingga memahami kehendak Allah, ada banyak pertanyaan yang didiskusikan dan diperdebatkan oleh saya dengan teman-teman saya. Berdebat dengan berbagai orang dari tradisi teologis yang berbeda membantu saya untuk lebih memahami tradisi saya sendiri, dan mendorong saya untuk melihat jawaban apa yang ditawarkan oleh Gereja Katolik. Profesor menjadi bantuan besar ketiga yang saya terima dalam menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Beberapa profesor yang ada di perguruan tinggi saya mempunyai apa yang saya sebut sebagai sikap kasihan terhadap Katolik. Mereka akan berkata, meskipun tidak dalam banyak perkataan, bahwa mereka secara keseluruhan setuju dengan Reformasi Protestan, atau tradisi Katolik yang satu ini. Masalahnya adalah beda profesor punya sikap kasihan yang berbeda. Maka, satu per satu, saya mulai menyusun potongan-potongan itu. Setiap kali bahasan mengenai Gereja Katolik muncul dalam perkuliahan, saya memikirkan dan mengaitkannya dengan pertanyaan menjadi Katolik. Di kelas bahasa Prancis, saya dihadapkan dengan budaya Katolik yang kuat, dengan perayaan hari-hari peringatan orang-orang kudus. Dalam kursus tentang filsafat kuno dan abad pertengahan, saya lebih banyak lagi membaca karya-karya Agustinus, Anselmus, dan Aquinas. Melalui ansambel musik, saya diperkenalkan dengan nyanyian Gregorian, polifoni Renaisans, dan berbagai lagu untuk Misa. Salah satu profesor bahasa Inggris saya adalah seorang sarjana Chesterton, saya dan beliau pernah melakukan obrolan bermanfaat di kantornya. Mungkin sikap kasihan terhadap Katolik yang paling berpengaruh berasal dari kelas sejarah mengenai Peradaban Barat. Profesor itu berusaha menyajikan gambaran yang adil dan seimbang mengenai Kekristenan Katolik menjelang Reformasi Protestan. Ia menyajikan perihal inti dengan mengatakan bahwa tidak semuanya hal itu buruk. Memang ada tindakan korupsi dalam hierarki, tapi Katolikisme abad pertengahan dan Renaisans juga menjadi saksi pertumbuhan dan pembaruan dinamis melalui ordo-ordo keagamaan baru seperti Dominikan dan Fransiskan, kerja keras dan doa komunitas monastik tradisional, pendirian universitas, dan perlindungan terhadap karya seni. Profesor itu menyajikan gambaran yang kompleks dan bernuansa Katolik pra-Reformasi. Kemudian ia meminta kami untuk membaca cerita pilihan dari Decameron karya Boccaccio. Satu kisah secara khusus membahas masalah korupsi dalam hierarki Gereja, dan mengubah argumen khas Protestan yang ada dalam pikirannya. Dalam kisah itu, ada seorang Yahudi dari Paris bernama Abraham yang membuat teman Katoliknya terkejut karena memutuskan untuk pindah agama, bahkan setelah mengunjungi Roma dan menyaksikan secara langsung tindakan korupsi dalam hierarki Gereja. Dari apa yang ia lihat, ia menjelaskan bahwa paus dan para kardinal di Roma seolah-olah sedang melakukan yang terbaik untuk menghancurkan agama Kristen. Namun, karena hal ini tidak terjadi, malahan Kekristenan tumbuh dan berkembang, ia menjadi yakin bahwa agama Kristen sudah benar-benar dibimbing dan dilindungi Roh Kudus. Dalam kisah ini dan juga dari gambaran kompleks Katolik pra-Reformasi yang disajikan oleh profesor sejarah saya, saya mulai melihat bahwa dosa-dosa para pemimpinnya justru membuat klaim Gereja Katolik semakin sulit ditolak. Jika Gereja Katolik hanyalah sebuah institusi manusia, bagaimana dia bisa bertahan – dan berkembang – dengan para pemimpin manusia yang lemah dan tidak sempurna? Semua gagasan dan pengalaman inilah yang mendorong saya untuk bertindak. Saya sudah membaca berbagai buku, melakukan perdebatan, dan menghadapi sikap kasihan terhadap Katolik dalam diri profesor saya. Sekarang saya perlu sesuatu mengenai hal itu. Sejauh ini semuanya masih dalam ranah pemikiran. Saya membutuhkan pengalaman praktis. Jadi pada tanggal 9 Januari 2005, pada Pesta Pembaptisan Tuhan, saya melakukan kunjungan perdana ke gereja Katolik untuk ikut Misa hari Minggu. Saya mencari paroki yang paling dekat dengan kampus saya dan menemukan jalan menuju St. Luke Catholic Church di Nicholasville, Kentucky. Saya terkejut dengan betapa wajarnya Misa itu. Saya tidak yakin dengan apa yang saya harapkan, tapi bukti iman dari umat begitu jelas menghilangkan pemikiran saya bahwa Katolikisme itu hanyalah “tradisi mati” atau sekelompok orang “yang melakukan macam-macam gerakan.” Kelihatannya Misa tidak begitu berbeda dengan kebaktian persekutuan Methodist di tempat saya dibesarkan. Anehnya Misa terasa akrab. Meskipun waktu itu saya tidak berkata demikian, dengan melihat kembali ke belakang saya mengatakan bahwa peristiwa itu seperti pulang ke rumah untuk pertama kalinya. Pada waktu ini dalam perjalanan hidup saya, saya sudah melampaui sikap adil terhadap Gereja Katolik. Sekarang saya semakin menyukainya, menemukan bahwa Gereja Katolik itu benar, bukan hanya sesekali, tetapi dengan konstan. Bahkan, melalui Gereja Katolik membuktikan sumber kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa diandalkan. Saya sedang dalam perjalanan menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Pernyataannya sekarang menjadi sesuatu yang mendesak, dan jawaban saya sudah dekat. Mencoba Melarikan Diri dari Gereja Katolik Pada musim gugur pertama sewaktu saya kuliah, saya mulai menghadiri kelas RCIA di St. Luke Catholic Church dan mulai ikut Misa setiap hari Minggu di bulan Oktober itu. Saya juga memutuskan untuk bergabung dengan paduan suara paroki. Kedengarannya tidak seperti orang yang berusaha melarikan diri dari Katolikisme, tapi itulah upaya untuk membenamkan diri dalam kehidupan Gereja Katolik untuk melihat apakah pengalaman pribadi akan menegaskan pembelajaran pribadi saya. Saya sedang menguji semua bacaan dan argumentasi saya. Apakah Gereja Katolik benar-benar seperti yang dikatakan Chesterton? Apakah pengalaman saya di sebuah paroki Katolik yang nyata sesuai dengan yang saya baca dalam karya Agustinus, Anselmus, Aquinas, dan berbagai buku apologetika Katolik? Apakah dengan melihat Gereja Katolik dari dalam itu seperti yang terlihat dari luar? Di satu sisi, saya menginginkan gambaran saya tentang Katolikisme bisa terbukti salah. Akan lebih mudah dengan menjaga jarak dengan Gereja Katolik, hanya dengan mengagumi dan menghormatinya dengan tetap menjadi orang Methodist. Saya benar-benar tidak menunggu percakapan yang akan saya lakukan dengan keluarga dan teman jika saya menjadi Katolik. Tapi dengan saya terpapar dengan rutin dengan ibadat dan persekutuan Katolik di tempat saya itu tidak mengubah atau bertentangan dengan tahun-tahun pembelajaran dan doa. Dalam upaya saya untuk menemukan jalan keluar dengan cara bergabung dengan Gereja Katolik, saya mulai bertanya kepada beberapa mentor rohani yang bisa dipercaya, “Mengapa saya tidak menjadi Katolik?” Saya mengharapkan alasan mereka itu cukup buat saya. Tapi nyatanya tidak. Saya menemukan alasan-alasan mereka itu mengagumkan, tapi tidak berlaku buat saya. Bahkan saya mengalami ada seorang profesor yang dengan hangat memberi saya selamat atas keputusan saya yang akan datang, dan saya mengakui bahwa ia sering berharap punya kesempatan belajar lebih banyak tentang Gereja Katolik. Langkah Terakhir yang Tak Terduga Seperti yang dikatakan Chesterton, “Catatan tentang tahapan perubahan keyakinan ini tentu sangat negatif dan tidak memadai. Ada detik terakhir atau batas setipis rambut, sebelum besi melompat menuju magnet, jurang yang penuh dengan segala kekuatan alam semesta yang tidak terduga. Jarak antara melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu itu seperti sesuatu sangat kecil dan sangat luas” The Catholic Church and Conversion, Ignatius Press, 2006, hlm. 83. Cerita saya sejauh ini agak sepintas dan terlalu dini. Hal ini disengaja, bahkan pada malam pengukuhan saya sebagai Katolik, saya tidak bisa mengartikulasikan sepenuhnya gagasan, kesan, dan pengalaman yang masuk dalam keputusan saya untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Itulah sesuatu yang sangat pribadi, saya berulang kali gagal dalam usaha menjelaskannya kepada keluarga dan teman. Ada seribu alasan kecil yang semuanya mengarah pada keyakinan bahwa Gereja Katolik itu benar, ajarannya benar, dan untuk semua bagian manusiawinya itu benar-benar dibimbing dan diarahkan oleh Roh Kudus. Ada juga seluruh proses pertubuhan kesadaran ini dibimbing oleh kuasa ilahi menuju kesimpulan ini. Saya sudah dibesarkan oleh kedua orang tua saya, dan didorong oleh pengajaran bawaan sebagai seorang Methodist, untuk mencari tangan Tuhan yang bekerja dalam hidup saya, dan untuk mengikuti-Nya dengan percaya dan penuh keyakinan. Sekarang saya mampu melihat cukup banyak bentuk kehidupan saya di masa lalu untuk mengetahui keputusan apa yang harus saya perbuat pada masa ini, bahkan jika saya tidak bisa memprediksi hasil yang terjadi di masa depan. Pada Malam Paskah 2006, sebagai seorang junior di perguruan tinggi, saya diteguhkan dan diterima dalam Gereja Katolik. Pertumbuhan dalam Gereja Katolik di Kemudian Hari Beberapa keluarga dan teman saya takut bahwa dengan bergabung dengan Gereja Katolik saya akan memasuki tempat dingin dan gelap dalam artian rohani. Saya sudah menemukan hal yang sebaliknya penuh cahaya dan kehangatan yang menyilaukan. Saya beruntung sudah mengenal beberapa bapa pengakuan yang baik, pembimbing rohani yang bijaksana,dan pembawa homily yang dinamis. Secara rutin saya menemukan Kitab Suci terbuka bagi saya dengan cara yang baru dan menarik. Saya sudah menjali persahabatan dengan banyak teman Katolik dan menemukan di Gereja Katolik tentang teladan iman, harapan, dan kasih yang memberikan inspirasi. Saya sudah bertumbuh dalam iman Katolik saya dan sudah menemukan semangat dan kelembutan devosi Katolik. Saya dipelihara dalam Sabda dan Sakramen. Allah sudah sangat baik terhadap saya. Hati saya penuh. Setelah lulus dari perguruan tinggi dengan gelar Bahasa Klasik, saya diterima di sekolah pascasarjana di Catholic University of America, tempat saya menerima gelar master dan doktorat dalam bahasa Yunani dan Latin. Selama saya di CUA, saya semakin dipupuk dalam iman Katolik saya melalui Misa harian dan sering mengaku dosa di Basilica of the National Shrine of the Immaculate Conception dan doa malam di Dominican House of Studies. Saya juga terlibat dalam schola paduan suara nyanyian Gregorian dan kelompok dewasa muda di paroki saya di Maryland. Saya tidak pernah menyesali keputusan saya atau meragukan keyakinan saya bahwa Gereja Katolik itu seperti yang dia nyatakan. Faktanya, setelah 14 tahun dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, dan beribadah dalam lebih dari Misa di tujuh negara berbeda, dalam tujuh bahasa yang berbeda, saya merasa lebih yakin sebelumnya bahwa saya sudah mengambil keputusan yang tepat, dan saya berada di tempat yang Allah kehendaki bagi saya. Saya berada di rumah. B. A. Lewis memasuki Gereja Katolik pada Malam Paskah 2006 dan melanjutkan studi untuk meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Klasik dari Asbury College dan gelar master dan doktor dalam bidang bahasa Yunani dan Latin dari Catholic University of America. Ia dan istrinya pernah tinggal selama tiga tahun di Athena, Yunani, dan sekarang tinggal bersama tiga anaknya di dekat Washington, DC, di mana Dr. Lewis bekerja sebagai Direktur Pelayanan Penerjemahan untuk International Commission on English in the Liturgy ICEL. Sumber “Why and How I Became Catholic” 1 Pengantar. Secara etimologis Mistik berasal dari Bahasa Yunani yaitu mystikon, yang berarti sesuatu yang rahasia atau tersembunyi. Ada pun tujuan dari pengalaman mistik ini adalah untuk menjalin relasi yang mendalam dan khusus dengan yang Ilahi melalui berbagai macam-macam ritus dalam masyarakat. Dalam lingkungan iman Katolik, kata mistik dipakai untuk menunjukan hubungan dengan yang Ilahi
ArtikelPengalaman Iman . Ruang Kesaksian/Pengalaman iman : Siapakah Diantara Kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Surat dari Jepang; Kekuatan penyembuhan Ekaristi; Menjamah Yesus dalam Ekaristi ; Yesus benar-benar bekerja saat Misa; Burung Berkicau; Yesus tidak pernah meninggalkanku
KITAB SUCI +Deuterokanonika - Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju Katekismus Gereja Katolik KATEKESE & AVANT GARDIST Menggagas kreatifitas dan ruang alternatif proses katekese Proses katekese pada intinya merupakan usaha pendampingan dan pendalaman untuk meningkatkan mutu hidup beriman. Upaya tersebut diusahakan dengan aneka metode, situasi, dan suasana yang dikembangkan agar orang merasa ditumbuhkan pengolahan yang mendalam atas imannya baik pengetahuan maupun sikap hidupnya dalam beriman. Tumbuh dan berkembangnya iman orang tidak dapat dipengaruhi secara langsung. Dengan demikian, prinsip katekese lebih sebagai usaha untuk menciptakan situasi dan suasana hidup beriman sedemikian rupa, sehingga membantu dan mendukung tumbuh-berkembangnya iman orang. Proses tumbuh-berkembangnya hidup beriman ini menyiratkan bagaimana orang berkembang secara utuh, baik secara kognitif, afektif maupun perilaku dan kehendaknya dalam menghayati apa yang diimaninya. Situasi dunia dan cara pandang orang yang kompleks, membawa implikasi yang serius bagi proses katekese. Katekese ditantang pada kemajuan cara berpikir, cara bertindak, cara menginternalisasi makna dan berbagai perubahan yang mendasar menyangkut orientasi cara pandangnya world view. Untuk itu diperlukan pembaruan katekese. Katekese harus merujuk kepada konsekwensi logis implikasi dan berbagai perubahan perilaku, sikap, dan tata budaya yang terjadi. Jika kita lihat, ruang hidup keagamaan dewasa ini tidak lagi bersifat single face berwajah tunggal, melainkan sudah bersifat multifaces berwajah banyak. Begitu juga kemajuan budaya, membawa ruang-ruang hidup keagamaan kepada relevansi keilmuan sciences dan religiositas yang majemuk dan beragam. Relevansi keilmuan ini pun cukup membingungkan, dimana ruang agama memasuki tarik menarik antara kategori pure sciences ilmu dasar atau applied science ilmu terapan. Perkembangan berbagai itu membawa perubahan pada segi hidup cara berpikir. Sifat kehidupan agama yang multiface membawa angin segar ruang agama yang tidak sarat hanya dengan permasalahan dogma, ajaran dan teologi semata, melainkan membawa kepada relevansinya terhadap ruang realitas hidup. Namun sering kali ruang agama yang sedemikian membawa sebuah konsekwensi applied science yang membawa agama sebagai sesuatu yang sarat dengan kepentingan, termasuk dalam ruang ilmu sosial politik. Agama bukan lagi sebuah pure science yang bergerak pada wilayah sakral dan transendenitas, melainkan sudah bercampur dalam wajahnya yang profan. Begitu juga, kekayaan religiositas semakin berkembang sangat beragam, dari yang populer-devosional sampai kepada posmo dan new age. Maka katekese membutuhkan avant gardist atau garda depan pemikiran yang harus berani membuka ruang-ruang alternatif. Ruang alternatif dan kreatifitas harus dicari pada wilayah yang melampaui sekat-sekatnya. Cara berpikir harus sampai kepada out of boxs, keluar dari jalur dan terus-menerus berusaha menemukan pembaruannya. 1. Katekese dan HybirdGeneration Dewasa ini, perkembangan cara pandang orang menampakkan citra yang berbeda dan progresif. Progresifitas itu tampak dari munculnya generasi “hibrida” dalam berbagai bentuk, dari seni, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Hal itu, dilatarbelakangi oleh berkembangnya gerakan Garda Depan Avant garde dalam segala proses cara pandang. Cirinya yang progresif dan mereduksi segala batas-batas formal dan tradisional, membawa segala sesuatu menjadi melintas batas tatanan. Berbagai perkembangan seni, sosial, politik, ekonomi dan budaya apapun bentuknya, menjadi meluas, kolaboratif, heteroistik. Bentuk perlawanan terhadap tatanan dan kolaboratif ini telah memunculkan berbagai kecenderungan yang kontemporer hingga sulit untuk digolong-golongkan kedalam formalisasi model tertentu. Konsep “hibrida” yang muncul, lebih kepada konsep interkoneksitas dan intermediasi. Maka yang terjadi, segala sesuatu saling dikombinasikan, dikolaborasikan dan dicampurkan. Semua hal menjadi lintas, kolaboratif dan berhubungan. Hal itu karena pengaruh berkembangnya pemikiran postmodern yang memandang segala sesuatu tentang sistem dan nilai tidak dikotomis atau biner, melainkan merupakan jalinan yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya dalam konstruksi yang utuh. Segala hal dilihat atau dipandang sebagai keutuhan dan holistik. Adanya penghargaan terhadap berbagai wacana yang lebih luas, bersifat lebih terbuka akan segala kemungkinan kebenaran. Perkembangan budaya New Age, sangat berpengaruh dan kaya dalam segi “hibridasi” ini. Hibridasi tersebut terlebur antara kerinduan akan yang sakral dengan segala sesuatu kecemasan dan hiruk pikuk duniawi. Ambil contoh, bagaimana seni-seni “hibrid” ini mewarnai kancah seni populer dewasa ini, seperti; ERA, Enya, Sarah Brighman, atau pada lagu-lagu Josh Groban yang berkolaborasi dengan Black Mumbazo. Maka New Age pun menghantar berbagai musik-musik yang kaya akan dimensi spiritual dengan musik yang didominasi bernada oktaf, namun juga kecenderungan-kecenderungan absurditas pada pilihan nada-nada musiknya, seperti apa yang dipopulerkan dengan generasi Brith Pop. Tentu saja, secara analisis budaya, hal ini dipengaruhi oleh struktur naratif zaman dewasa ini yang menuturkan berbagai pergulatan penderitaan hidup, kecemasan dan kerinduan akan yang sakral. Fenomena hibridisasi ini menjadi kesempatan yang luas bagi proses energi kreatif. Pengaruhnya juga memasuki ruang-ruang teologis, hingga politis. Ruang teologis semakin melebarkan jangkauannya kepada proses hermeneutik baru antara sosial, ekonomi, lingkungan hidup, seni, budaya dan lain sebagainya. Katekese mendapatkan tempat yang sangat berarti dalam proses hibridisasi ini. Hal itu dimungkinkan, karena katekese merupakan peleburan antara ruang teologis dengan ruang kemanusiaan yang sarat dengan kekayaan akan metodologi dan hermeneutik. Katekese menjadi ruang yang paling kaya akan hibridisasi, dari metode dan isi, yang mengkolaborasikan cara, sikap pandang, internalisasi dan refleksi. Maka katekese perlu membuka peluang seluas-luasnya pada konsep “hibridasi” ini, tentu saja bukan untuk mengkaburkannya, tetapi untuk merevitalisasinya. Tantangan ini menjadi salah satu bagian dari pengembangan katekese, bagaimana mengaktualkan sabda Allah dengan memberinya ungkapan baru yang lebih berbicara bagi manusia zaman sekarang. Isi dan tema katekese idealnya muncul dari dialog dinamis antara situasi aktual umat sekarang dengan Injil Yesus Kristus dan kemajuan kebudayaan. Setiap situasi harus menjadi medan karya keselamatan Allah. Maka, hal itu harus mendorong karya katekese menuju kepada kebaharuan dalam mempergunakan sarana-sarana modern, yang telah dihasilkan oleh peradaban sekarang ini untuk menyampaikan Injil. Liturgi sabda, katekese, peran penggunaan media massa, peranan sakramen-sakramen, kontak pribadi haruslah diintegrasikan didalam sebuah media yang mampu memungkinkan proses komunikasi yang lebih efektif. 2. Katekese dan tantangan multitask Dalam proses katekese, ada dua unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu segi isi dan suasana. Isi memuat proses edukatif dan konsientisasi menyangkut visi dan pengetahuan iman, nilai dan pesan moral bagi audince atau pesertakatekese. Isi katekese tidak dapat dilepaskan dari pengaruhnya atas suasana, baik faktor perkembangan psikologis peserta katekese itu sendiri dan aspek-aspek eksternalnya, yaitu lingkungan, sarana, pendekatan dan metodenya. Maka diperlukan suasana akomodatif yang mampu menghantar isi kepada peserta katekese. Suasana tanpa isi akan membuat proses katekese hanya sekedar ruang hiburan, tetapi isi tanpa suasana akan membuat proses katekese bagaikan ruang ceramah yang membosankan dan sama sekali tidak edukatif bagi segi afektifitas peserta katekese. Untuk itu segi isi dan suasana menjadi bagian yang tak terpisahkan. Isi haruslah berjalan dengan suasana, begitupun suasana haruslah memuat isi yang membangun iman peserta katekese. Orang-orang di zaman sekarang ini menginternalisasim segala sesuatu dengan multitasking, yang meliputi 3 komponen pokok, yaitu visual, auditori dan kinestetik gerak. Untuk itu pengaruh media informasi sudah menjadi tiang penyangga kehidupan dan sekaligus menjadi ciri khas setiap orang bersosialisasi dengan sesamanya dewasa ini. Bahasa yang dulunya cenderung mengajar, kemudian berubah menjadi bahasa media yang bersifat membujuk, menggetarkan hati, dan penuh dengan resonansi, irama, cerita, dan gambar yang tervisualisasikan. Bahasa media tersebut lebih berpusat pada getaran hati. Selain itu, bahasa menjadi simbol untuk mengangkat dan memberi tekanan pada aneka kekayaan cita rasa. Segalanya seakan diciptakan kembali menjadi sesuatu yang kreatif . Metodologi katekese pada intinya adalah pengembangan hidup beriman. Metodologi tersebut terbuka pada pengetahuan yang bersifat edukatif, namun juga pada proses komunikasi itu sendiri dengan memperhitungkan berbagai keberagaman metode katekese dan berbagai pendekatan yang mendukung. Untuk itu, tantangan multitasking harus memberikan konsekwensi bagi perubahan cara untuk mencari secara kreatif mediasi paling progresif. Proses katekese harus terbuka kepada 3 komponen pokok, yaitu visual, auditori dan kinestetik gerak. Artinya katekese harus memperhitungkan dan menyesuaikan dengan bahasa visual, bahasa auditori dan bahasa kinestetik. Konsekwensi multitasking itu bagi katekese, maka katekese perlu mempertimbangkan segi message appeals atau himbauan pesan yang bersifat himbauan emosional yang terkait dengan motif transendental atau nilai religius. Untuk itu berbagai media yang tepat dan mampu menyentuh cita rasa perlu dikembangkan. Proses hermeneutik harus menjadi proses komunikatif, dimana citra manusiawi dikemas dengan berbagai metode pendekatan untuk sampai kepada nilai religius. Media visual-auditori-kinestetik menjadi salah satu jembatan untuk menghubungkan realitas dan cita rasa kepada inti visi Kristianitas sejati. Hal itu lebih merupakan proses sintesa media dan katekese dengan perkembangan budaya serta tehnologi yang mempengaruhi umat berkaitan dengan gaya hidup life style dan berbagai kemajuan cara berpikir lengkap dengan progresifitas pendekatannya. Media visual-auditori-kinestetik menjadi jembatan paling strategis jika rancangan katekese merupakan rancangan yang imaginatif dan kreatif. Untuk itu pola pemikiran visual-auditori-kinestetik yang kaya akan cita rasa perlu menjadi bagian utama yang dikembangkan. Proses hermeneutik harus terbuka kepada pola-pola gagasan apresiatif yang kaya. Kegiatan apresiasi merupakan sebuah kegiatan yang memuat dua unsur penting. Unsur yang pertama adalah upaya pemahaman. Unsur yang kedua, bahwa di dalam kegiatan berapresiasi ada suatu upaya untuk memberikan bentuk pendapat dan tanggapan atau yang umum disebut sebagai intrepetasi. Begitu juga, katekese menjadi ruang ekspresi atau ungkapan yang representatif dan kaya akan makna performance, apa yang menjadi perasaan dan diiternalisasi diungkap sedemikian rupa dalam bingkai visi yang teologis dan humanis namun dengan bahasa yang visualitatif. Salah satu media yang dapat digunakan agar katekese itu mampu menyapa aspek multitasking adalah media komunikasi populer. Media komunikasi populer adalah media yang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam proses komunikasi yang metodologinya bersifat “dekat” dengan kehidupan dewasa ini, misalnya film, foto digital, poster, hasil download internet, tampilan-tampilan presentasi dengan powerpoint dan flash player, musik, potongan artikel, potongan cergam-komik, dan lain-lain. Media komunikasi populer ini dapat menjadi salah satu bantuan, agar jembatan untuk menghubungkan pengalaman hidup orang zaman sekarang dengan visi kristianitas mampu terjadi. 3. Katekese dan kerja ruang seni Performance art [seni pertunjukan] ; teater, film/fotografi, seni entalase, tari, paduan lintas seni antara seni rupa dan seni pertunjukan, performance sastra dan musik merupakan ruang yang mempunyai daya ikat komunikatif-apresiatif bagi penikmatnya. Ruang tersebut sangat kompleks dan kaya dengan berbagai ragam proses internalisasi. Internalisasi itu tercipta dengan sangat kuat bagi penikmatnya, ketika dirinya merasakan unsur keindahan, hiburan, nilai serta makna yang mencecap sumber-sumber komunikasi baik inderawi maupun kemampuan daya pikirnya. Ketika orang menikmati suatu karya/kerja seni work art yang melebur menjadi gagasan performance, orang diajak secara bebas, untuk melihat, mendengar, merasakan, dan berpikir mengenai stimulus-stimulus yang merasuk melalui membran indera untuk diinternalisasi, dikontruksi secara baru bagi dirinya agar bermakna. Makna yang didapat pasti tidak bersifat sementara, namun mampu membuat impuls kesan yang tertanam dalam memori dengan bentuknya yang lebih kaya. Jika internalisasi makna terjadi, maka apa yang menjadi performa telah dikontruksi secara baru oleh seseorang yang berdampak perkembangan atau edukatif. Performance art mempunyai “bahasa” yang mengungkap banyak ragam kemampuan daya manusia secara utuh. Daya itu meliputi, daya imajinasi, logika berpikir, dan kemampuan semiotik, menangkap simbol atau lambang yang tidak hanya secara verbalistis, namun bersifat lateral menjangkau ruang-ruang daya kreatifitas. Ruang kateketis, adalah ruang yang berdampak edukatif dan spiritual. Ruang ini menjalin proses komunikasi yang bersifat religius sekaligus pengertian serta makna. Proses komunikasi tidak akan terjadi secara baik, jika salah satu unsurnya timpang. Ketimpangan dapat terjadi, jika proses katekese kehilangan sintesa antara isi dan suasana yang dibangun. Begitu juga, jika subyek katekese tidak mampu secara bebas dengan daya pikir, imaginasi, dan proses pemaknaan, menginternalisasi makna itu. Indoktrinasi yang kuat dengan bahasa yang terbatas pada verbalistis, tidak kaya makna dan terbatas pada isi yang kurang kontekstual, kurang partisipatif baik dari inderawi, makna, dan daya pikir dapat menyebabkan proses keteketis terhambat. Performance art dapat menjadi salah satu ruang alternatif kateketis. Hal itu sangat beralasan, karena melalui performance art ini diusahakan proses komunikasi iman yang lebih kaya, beragam dan memuat unsur makna dan nilai. Dalam arti, penikmat performance, bukanlah sekedar “penikmat”, melainkan subyek keteketis yang dengan indera dan hatinya menginternalisasi makna edukatif, transformatif dan spiritual bagi hidup berimannya. Bagi sang kreator, performance menjadi ruang kesaksian dan proses komunikasi imannya. Namun, performance art tidak dapat begitu saja ditempatkan dalam kerangka ruang kateketis. Ada unsur penting kateketis, yaitu kontruksi imanen, dimana di dalamnya ada isi iman dan pengalaman religius yang mendasar. Maka performance art sebagai ruang kateketis mengibaratkan ada unsur iman yang dibangun, yaitu meliputi isi utama yang menjadi pusat kontruksi religiusnya dengan proses kerja seni [work art]. 4. Katekese dan ideologi masyarakat urban Ruang katekese semakin meluas, ketika ideologi paradigmatik dewasa ini bersenyawa dengan teologi dan humanisme, apalagi dengan konsep urbanisme modern yang dewasa ini berkembang. Katekese dalam kerangka bingkai identifikasi ini, menjadikan pengalaman-pengalaman faktual berhadapan dengan berbagai nilai, makna dan repesentasi ruang sosial urban yang cenderung anonimitas, absurditas dan eksistensialitas. Tentu saja, hal ini akan semakin menarik dan mempengaruhi model katekese. Ruang publik kota adalah ruang yang memuat begitu beragam interaksi. Interaksi itu sarat akan makna, karena proses jalinan yang menyatukan unsur ruang dan me-ruang dalam dimensi titip pijak hidup manusia. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri untuk mengamati ruang publik kota. Daya tarik itulah yang perlu dikembangkan sedemikian rupa, agar menjadi ekspresi dan refleksi atas potret kritis kehidupan ruang publik kota. Refleksi itu perlu menjadi khasanah paling pokok dari kerja kateketis. Katekese kaitannya denga ruang urban ini akan menjadi pengalaman dan diskusi panjang bagaimana Gereja harus berbuat untuk mengupayakan perjuangan nilai pembebasan dan warta sejati mengenai Kerajaan Allah di kancah hidup masyarakat saat ini. Pengalaman, harapan, penilaian, kekritisan yang muncul serta direfleksikan kemudian diidentifikasikan dengan sebuah visi mengenai tradisi suci yang kaya akan nilai-nilai Adikodrati. Warta tersebut diharapkan mampu menjadi subjek dan pusat komunikasi evangelisasi baru baik secara perorangan maupun bersama menggarami dan menerangi sekulerisme, hedonisme, apatisme dalam hal-hal keagamaan serta ateisme praktis yang kian menggerogoti umat manusia dewasa ini. Gagasan yang dapat dikembangkan bagi katekese dalam gagasan urbanisme ini seperti apa yang digagas oleh Foucault dengan heterotopia. Foucault mengajak memahami “ruang” dalam gagasan yang bersiafat relasional. Ruang publik kota bukan sesuatu yang kosong tanpa arti menunggu para penafsir memberikan arti-arti dan makna-maknanya. Ruang publik kota adalah ruang yang mempunyai relasional antara historisitas dan hidup manusia kota. Dalam kehidupan modernisasi sering ditemukan apa yang disebut Foucault sebagai heterotopia. Degup jantung kehidupan kota itu sarat dengan ruang-ruang heterotopia itu. Ruang heterotopia itu mensiratkan relasi kegundahan manusia dengan ruang hidupnya. Heterotopia itu terjadi ketika tata ruang, bangunan bersinergi dengan batin-batin pencarian manusia akan disparitas, paradoks dan “ruang lain” dalam hidup mereka. Ruang-ruang heterotopia terjadi ketika manusia berdialog dengan eksistensi hidupnya, antara ada dan tiada. Maka ruang heterotopia itu menjadi ruang pencarian manusia akan maknannya, pencarian manusia dalam dimensi dramatiknya, dari penderitaan, kesakitan, absurditas, spiritualitas, hingga kegembiraan. Untuk itu, ruang heterotopia tidak hanya menyangkut alih-alih kekuasaan seperti penjara, atau ruang kesakitan dan kepedihan seperti rumah sakit dan pemakaman tetapi juga ruang-ruang publik yang disibukan dengan eforia magis pelarian manusia akan kejenuhan kehidupan, seperti tempat-tempat rave party. Membaca ruang publik kota dengan konsepsi heterotopia mengajak kepada kesadaran ultimate dan eksistensial mengenai ruang-ruang makna yang dicari oleh manusia kota. Untuk mengembangkan proses katekese dengan konsep urbanisme ini, metode bahasa foto merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk penyadaran konsientisasi. Melalui foto, ada kisah dan peristiwa yang terajut utuh bagi setiap pikiran dan setiap keprihatinan. Foto menghadirkan kembali kenangan akan peristiwa, yang tentu saja mempunyai nilai jika didiskusikan dan direfleksikan. Upaya yang bersifat teknis dan pemilihan obyek, dengan kuatnya telah dirajut oleh kesadaran seorang fotografer untuk membidik sebuah peristiwa agar hadir di ruang-ruang setiap orang yang melihatnya . Foto mempunyai bahasa yang luas dan kuat untuk menyentuh perasaan, misalnya bagaimana menghadirkan sebuah pemaknaa akan kesadaran ekologis melalui foto. Hal itu seperti apa yang telah terjadi di tahun 1970-an, seorang fotografer W. Eugene Smith mampu menunjukan kepada publik mengenai upaya perjuangan lingkungan hidup melalui foto kasus pencemaran lingkungan, yang dikenal dengan Minamata. Melalui karya itu, dipaparkan betapa ruang foto, mampu menjadi medan dialog reflektif bagaimana realisasi gamblang dari rusaknya hubungan antara manusia dan kemajuan yang diinginkannya. Foto mampu berdampak provokatif mengurai batas-batas kesadaran kritis. Agar proses katekese dengan mempergunakan bahasa foto ini menjadi menarik dan mempunyai makna yang mendalam, ada salah satu metode yang dapat dipergunakan, yaitu dengan metode Mass Room Project Proyek Ruang Publik. Mass Room Project lebih dikenal dikalangan komunitas seni media. Biasanya, Mass Room Project digunakan untuk mengamati ruang publik yang “ditangkap” melalui sarana media seperti photo-camera dan camera shooting, yang dipadu dengan sebuah kajian sosial, baik bersifat antropologis maupun sosiologis yang kemudian diberi sentuhan seni. Kajian yang dilakukan, biasanya berkisar pada ruang-ruang publik perkotaan, dari pasar, jalan raya, mall, halte bis, perkampungan urban, tempat nongkrong, rambu-rambu lalu lintas, terminal dan lain sebagainya, yang terpenting ada segi ruang publik yang dihadirkan. Metode yang dilakukan, biasanya sangat variatif dan kreatif, mengingat adanya unsur seni media didalamnya. Biasanya suatu obyek ruang publik diamati dan dibidik dengan peralatan media baik photo-camera dan camera shooting, dengan suatu ketentuan tertentu. Pertama, dapat bersifat bergerak, baik linear, maupun spiral, ataupun bersifat sentrifugal maupun sentripetal, Kedua, dapat bersifat stagnan diam, dengan suatu durasi waktu yang digunakan, baik detik, menit, jam, hari maupun sampai bulan, bahkan tahunan, ataupun obyektifikasi yang bersifat masif. Untuk kepentingan katekese, Mass Room Project dapat diproses sebagai berikut 1. Sebelum melakukan hunting ke obyek yang dipilih, peserta perlu diajak diskusi untuk menentukan tema dan cara pengambilan fotonya. Tema dan cara pengambilan foto yang dipilih akan mempengaruhi jenis dan tempat obyeknya, dan bagaimana proses yang akan dilakukan, baik yang bergerak maupun yang stagnan ataupun yang bersifat obyektifikasi. 2. Setelah tema ditentukan, begitu juga tempat dan dinamikanya, barulah hunting ke obyek yang dikehendaki. 3. Berdasarkan obyek yang dipilih, obyek dapat “direkam” mempergunakan foto-digital sesuai dengan yang telah ditentukan menurut pola yang telah disiapkan. 4. Setelah foto obyek didapatkan, foto tersebut dapat diolah hasilnya berdasarkan selera dan tema yang sudah ditetapkan. 5. Hasil data tersebut dapat dikemas, baik dalam bentuk pameran foto, esai foto, perfomance art, ataupun pem-visualan yang lainnya. Hasil yang sudah dikemas itu bisa digunakan untuk media awal analisa. 6. Foto yang telah dihasilkan itu, dapat direfleksikan dan didiskusikan dengan metode 5. Ketekese dan Community Base Organization Katekese mempunyai peran dalam fungsinya untuk mengupayakan sintesa pengalaman kolektif umat di dalam terang visi iman. Hal itu mendasar pada peran katekese dalam perencanaan plan pengembangan partisipasi ruang hidup umat yang sungguh-sungguh berdaya dan bergerak nyata di dalam masyarakat. Kita sadari bersama, Katekese Umat menjadi suatu ruang dimana refleksi iman sungguh disatukan dengan pengalaman sosio politis apa yang dihadapi umat di dalam masyarakat. Melalui Katekese Umat, apa yang kultis semakin direfleksikan untuk menjadi bagian dari actus yang harus diperjuangkan bersama. Perjuangan tidaklah semata-mata politis, melainkan ada aspek visi pada sebuah nilai dan pusat keluhuran budi manusia yang telah di-internalisasi kedalam spiritualitas ruang kultis umat. Perjuangan akan semakin menampakan visinya di dalam kancah sosio politis, bahwa tidak sekedar menjadi gerakan biasa melainkan menjadi gerakan yang utuh merambah kesatuan aspek etis-spiritualitas, sehingga pilihan politispun sungguh berpusat pada nilai kemanusiaan. Katekese mempunyai fungsi mengupayakan sintesa iman dan situasi aktual umat. Jika kita lihat bersama, perantaraan iman membutuhkan jembatan antara situasi tradisi iman yang lampau dengan keberadaan Kristianitas dalam situasi yang baru saat ini. Hal ini membutuhkan dialektika antara apa yang menjadi Visi dengan kenyataan faktual yang dihadapi. Terkait dengan situasi aktual umat, akumulasi pengalaman, penilaian dan refleksi bagaimana sebuah situasi aktual umat berdampak pada ruang hidup masyarakat dicoba untuk diteguhkan dan dikonfrontasi dalam bingkai visi. Hermeneutik yang cukup representatif terkait dengan daya kritis situasi aktual umat adalah hermeneutik yang bersifat identifikasi antara pengalaman manusiawi dengan pengalaman religius. Bingkai hermeneutik ini mencoba untuk menemukan nilai bahwa di dalam kodrat dan pengalaman manusiawi ditemukan petunjuk-petunjuk ke arah adikodrati analogia etis. Maka dalam kerangka bingkai hermeneutik identifikasi ini, pengalaman-pengalaman faktual berhadapan dengan ketidakadilan atas berbagai situasi aktual umat menjadi pengalaman upaya bagaimana Gereja harus berbuat untuk mengupayakan perjuangan keadilan sebagai sebuah pengalaman pembebasan dan warta sejati mengenai Kerajaan Allah di kancah hidup masyarakat saat ini. Pengalaman, harapan, penilaian, kekritisan akan situasi aktual umat yang muncul serta direfleksikan dalam bingkai analisa sosial diidentifikasikan dengan sebuah visi mengenai tradisi suci yang kaya akan nilai-nilai pembebasan dari Allah. Tradisi suci-Kitab Suci mengenai kisah Yesus memberikan inspirasi, motivasi yang mendalam mengenai sebuah perjuangan sosio politis komunitas kritis. Komunitas itu adalah umat yang bersama dengan katekis untuk mencoba menggali berbagai aspirasi kritis persoalan situasi aktual umat. Peran katekese menjadi semakin strategis dalam arti tersebut. Hal itu didasari, bagaimana proses katekese mampu mengupayakan fungsinya menjadi pusat perkembangan komunitas basis umat. Hal tersebut meliputi kemampuan ruang katekese untuk menjadi; planning, pengorganisasian, aktualita serta evaluasi dan refleksi karya yang sungguh-sungguh mendasar pada berbagai peran kritis di dalam masyarakat. Purwono Nugroho Adhi Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang Materi link Artikel yang berhubungan dengan katekese umat [Home Katekese Umat] [Apa itu Katekis] [Katekese Umat] [Sejarah PKKI] [Penanaman Nilai-Nilai Kekatolikan didlm Keluarga dengan Basis Lingkungan] [Peranan katekese] [Katekese Lingkungan] [Bina Iman Anak] [Bina Iman Remaja] [Katekese & Tantangan Multitask] [Katekese & Kebijakan Publik] [Katekese & Avant Gardis]
whAcBqC. 401 282 187 367 273 371 93 398 427